Suriyaaceh Info Anak Meulaboh: Sejarah Aceh
DMCA.com for Blogger blogs

Karya ini dilisensikan di bawah CC BY-NC-ND 4.0

DMCA compliant image

Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam (Bagian-1)

Property Web Pribadi © www.suriyaaceh.eu.org Ilustrasi doc. © Suriyaaceh Info Anak Meulaboh: Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam (Bagian-1)

Suriyaaceh Info Anak Meulaboh Sejarah Nanggroe Atjeh Darussalam (Bagian-1)-» Artikel bersambung di sini dari bagian buku 'Gerilya Salib di Serambi Mekkah' (Rizki Ridyasmara, 2006) dan telah dimuat di eramuslim pada bulan Februari 2016 dan dimuat ulang di www.suriyaaceh.eu.org Info-Anak-Meulaboh Febuari 2022 dan sekarang telah relevan dengan isu Aceh terkait wacana referendum yang dikonfirmasikan Muzakir Manaf atau Mualim, tokoh sentral NAD.

Hal ini menimbulkan pro dan kontra, Sebelum kita menilai hal itu akan jauh lebih baik daripada yang kita ketahui dan bahas sebelumnya NAD yang benar, agar bangsa ini tidak melupakan sejarahnya sendiri, agar bisa lebih arif, agar tidak lagi tertipu dengan pencitraan, dan agar dapat mengingat jika negeri besar ini sekarang diambang kehancuran akibat keserakahan, sifat korup, dan pembayaran istilah Julien Benda Pengkhianatan Kaum Intelektualnya. Silakan simak:

***

Aceh adalah Negeri Islam. Adat Istiadat Masyarakatnya tidak bisa lepas dari Syariat Allah SWT. Kitab suci Al Qur'an merupakan hukum tertinggi di seluruh wilayah Nangroe Aceh Darussalam yang diterjemahkan dalam Qanun Meukuta Alam, Konstitusi Kerajaan Aceh Darussalam. Belasan abad sebelum perampok Eropa seperti Vasco da Gama, Christopher Colombus, dan Ferdinand Magellhaens lahir, cahaya Islam telah menyinari setiap jumput tanah Aceh dengan kemilaunya.

Dari wilayah di ujung utara pulau Sumatera inilah Islam merambah ke seluruh Nusantara sampai ke kepulauan di Zamrud Khatulistiwa ini sekarang dikenal sebagai Negara Muslim terbesar di Dunia. Sebab itu, Aceh Darussalam juga disebut sebagai Serambi Mekkah ( Seuramoë Makah ).

Peter Bellwood [1] , Pembaca Arkeologi di Universitas Nasional Australia , yang telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polinesia dan Asia Tenggara, menemukan bukti-bukti yang menunjukkan sebelum abad ke masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum pernah melihat, seperti mencari di bursa penjualan utama Telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina.

Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di Sumatera Selatan dan di Jawa Timur membuktikan hal ini. Dalam catatan meminjam [2] Bellwood menulis,“Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, beberapa yang dipertanyakan mungkin dipertanyakan akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), sesuai dengan koleksi pribadi di London.

Benda-benda ini diterjemahkan dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah ... "Bellwood dengan ini dipertanyakan sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi telah memperoleh persetujuan tentang perdagangan dengan para pedagang dari Cina.

Menurut Bellwood, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang mempertemukan kerajaan adalah dengan pemerintahan dan memiliki wilayah yang luas. Penyebab Kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di Sumatera Selatan baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, "kerajaan-kerajaan kecil" yang tersebar di beberapa pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulis. Pangeran Aji Saka sendiri baru “Diperoleh” memulai sistem yang sesuai huruf Jawi kuno yang sesuai dengan tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 hingga 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah didirikan Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara terutama Sumatera dan Jawa dengan Cina juga direkomendasikan oleh sejarahwan GR Tibbetts. Hubungan antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts Menemukan bukti-bukti keberadaan kontak antara Negeri Arab dengan Nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad pertengahan Masehi. [3]

700 M atau sekitar tahun 625 M hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan untuk bangsa Arab di sebuah pantai pantai Sumatra telah ditemukan sebuah perkampungan Muslim Arab yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya

Disebutkan pula bahwa di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).[4]

Temuan ini diperkuat oleh Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.[5]

Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi!.[6]

(Bersambung)

————————

[1] Peter Bellwood, Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, Gramedia, 2000. Judul asli “Prehistoriy of the Indo-Malaysian Archipelago”, Academic Press, Sidney, 1985. Buku ini merupakan salah satu hasil riset Bellwood yang menjadi pegangan peneliti dunia tentang catatan arkelogis Polynesia dan Asia Tenggara.
[2] Ibid, hal.455.
[3] G.R. Tibbetts, Pre Islamic Arabia and South East Asia, JMBRAS, 19 pt.3, 1956, hal.207. Penulis Malaysia, Dr. Ismail Hamid dalam “Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak Islam” terbitan Pustaka Al-Husna, Jakarta, cet.1, 1989, hal.11 juga mengutip Tibbetts.
[4] Kitab Chiu Thang Shu, tanpa tahun.
[5] Prof. Dr. HAMKA; Dari Perbendaharaan Lama; Pustaka Panjimas; cet.III; Jakarta; 1996; Hal.4-5.
[6] Harian Kompas: Akhir Perjalanan Sejarah Barus (1 April 2005)

Trending Topick Blog

Admin Makala Antrologi Sejarah Aceh